Hi, welcome to My Blog . This is Ayyue Zone :) | do Follow me | find me on Facebook | or back to Dashboard |

28 Desember 2011

Bisikan dandelion



Hiks, banyak juga lecetnya, perih rasanya, lemah sekali aku, betapa bodohnya aku hingga aku terjatuh tanpa perlindungan diri, harusnya aku lebih berhati hati. Jadi sedih karena kebodohan sendiri.

“Dasar menyebalkan!! Tak tau diri, kau buat aku jatuh, sakit tau! Dasar bodoh!! Perih tau!” entah suara dari mana kudengar, asing karena aku tak mengenal siapa. Hanya mengetahui sepertinya suara seorang anak laki laki

Kuhampiri “Hei, kau kenapa? Kamu terjatuh ya?? Kelihatannya luka, apa sakit??” Kutanya padanya dengan pertanyaan sok peka akan keadaanya yang sepertinya terluka, kuliahat dia tampaknya seperti sosok biasa dan sederhana, dan kulihat dia dengan sedikit menghujatkan sesuatu entah kepada apa atau siapa.

“Kamu baik baik sajakah? sepertinya ada yang terluka??” Tanyaku kembali, sembari kulihat rautnya dan ucapan ucapan kesalnya yang kurang begitu jelas, yang sepertinya mengungkapkan rasa kesalnya akan sesuatu entah apa dan siapa.

“Iya” Jawabnya. “Aku terjatuh, terluka sepertinya perih, dia sengaja dengan entah dia sadari atau tidak, dia menjatuhkan aku, sakit sih, dasar menyebalkan!” Gerutunya dan sepertinya menahan perih.

Sesaat kucoba cermati keaadaannya aku seperti melihat keadaanku saat ini, “sama” bisikku.
“Hei, lihat aku, aku juga baru saja terjatuh, sakit sekali, terasa perih lukanya” Hehehe, aku katakan dengan tertawa kecil. “Luka-lukaku ini sepertinya harus diobati, aku mau mencoba untuk mencari obatnya dan  sepertinya luka mu pun sama memerlukannya”,  kataku dengan sedikit menahan rasa perih.

“Begitu kah?” Tanyanya, tak perduli. “Bagaimana jika dibiarkan saja ya? Hahahahaha” Tawanya renyah sambil sedikit mengernyit karena sepertinya sakit.
“Jangan, nanti tambah sakit, harus dicari obat yang manjur”, ucapku yang lagi lagi sok tau.
“Lalu harus dicari kemana? Kearah mana?” Tanya nya sinis seolah tak perduli.

Aku diam sejenak, karena sesungguhnya aku pun tidak tau kemana? Dengan tampang seolah mampu, aku katakan, “bagaimana kalau kita ikuti saja jalan ini, siapa tau ditengah jalan, kita bisa temukan?” Dengan ragu-ragu aku coba membaca rautnya, mencoba membaca reaksi dan ekpresinya karena ide konyolku, aku memberi ide seperti orang tersesat yang tidak tau harus kearah mana. Aku hanya berfikir luka luka ini harus sembuh agar tidak menjadi penyakit yang mungkin bisa merugikan.

Kulihat sinar matanya yang ragu, atau mungkin sepertinya geli atau merasa konyol akan ideku. Sedikit senyum tipis tergambar dan diapun berkata, “kita? Ah, aneh dan ada ada saja”.
“Kenapa memangnya? Aku hanya merasa kata kita karena aku dan kamu sepertinya terluka karena terjatuh”, cetusku seolah ungkapan dari pembelaanku karena merasa malu karena seakan aku sedang mencoba menyamakan keadaanku dengannya, padahal mungkin alasan terselubungku karena butuh ‘teman’.

Namun diluar dugaan kulihat raut muka geli dan mengeluarkan suara tawa. “Hahahahaha, begitu ya, semoga saja ada obat yang mampu meringankan atau mungkin menyembuhkan”, ungkapnya. ‘baiklah, setidaknya luka-luka dipunggungku, nantinya aku akan perlu orang untuk mengoleskan obatnya”, sambungnya datar.

“Tapi sepertinya kamu terjatuh dengan lukanya cukup lumayan banyak, bagaimana bisa terjatuh?” Tanyanya.
Well, benar juga sih bisikku sambil kulihat diriku sendiri yang sepertinya lukanya lumayan banyak. Dengan sedikit pikiran kosong aku menjawab “eumm, aku ceroboh”. Kucoba lihat ke arahnya, dan dia hanya sedikit senyum untuk kemudian diam sejenak.

“Oh ya, kamu siapa?” tanyanya kembali ketika aku ikut terdiam sejenak.
“Aku?? Eumm, aku rumput liar, jawabku dengan sedikit tersentak karena kaget mendengar tawanya.
“Hahahaha, namamu aneh, apakah seaneh dirimu?” Tanyanya diikuti tawa yang lambat laun menyurut.
Dengan sedikit sebal aku menjawab “Iya kali, aku tak hanya aneh, tapi bodoh kok, hehehe… kamu siapa??” Tanyaku balik.
“Panggil aku Dandelion”, dengan gaya yang sepertinya sih biasa saja namun dengan suara sedikit agak pongah sepertinya.

Well, who care batinku. Sama-sama jenis rumput juga kan??
Kemudian aku menunjuk sebuah arah kedepan mengikuti arah sebuah jalan yang hanya kearah depan. “Ayo jalan kedepan sana”, sahutku. Sambil senyum aku dan dia hanya berjalan.

Dalam perjalanan ini, aku dengan diriku yang seperti biasanya, suka melakukan tingkah yang aneh, seperti katanya semula aku aneh dan tak jarang aku menyeletukkan kata kata yang sepertinya menurutnya lucu. Seperti itu dan seringnya seperti itu, dengan keadaan, aku yang melucu dan kemudian dia yang tertawa.

Ternyata selama berjalan ada beberapa obat yang menurut aku, mungkin juga sama menurut dia, yang mungkin bisa mengeringkan luka luka ini dan yang sepertinya mampu mematikan bakteri maupun virus yang ada diatas luka luka ini.

Dan suatu ketika saat aku merasa lelah yang cukup menyesakkan. Dia bertanya “kamu kenapa, rumput liar?”.
“Aku lelah, reaksi obatnya hanya meringankan saja, sepertinya sulit untuk mengeringkan lukanya agar bisa terkelupas”, dengan setengah putus asa aku menjawab.
“Oh, ya? Tapi sepertinya lukamu sebagian sudah ada yang tertutup”, ujarnya.

Kulihat beberapa lukaku, dengan nada desahan tanpa asa aku menjawab sinis “Iya, tapi beberapa hari kemudian, yang kupikir sudah ringan, malah terbuka lagi lukanya. Sepertinya aku salah mengambil ramuan ramuan obat itu.” Sambungku dengan kesal.

Dia mengahampiriku, ”coba kulihat, dia diam sejenak sambil amati luka ku.” Mungkin benar, kamu salah mengambil tanaman obatnya, harusnya kamu lebih jeli dan melihat tanaman obat mana yang benar benar bisa menyembuhkan, jadi tidak hanya meringankan saja,  jelasnya panjang kali lebar dan aku dengarkan tiap kata katanya, seolah serangkaian kata kata membentuk satu kemasan nasehat tata cara memilih, meramu obat yang baik dan benar.

Aku mendengarkan seraya mengamati dia, sepertinya luka-lukanya sudah berkurang, mungkin hampir sembuh, terlintas di benakku benarkah dia sudah sembuh? Sepertinya ada sedikit kebebasan gerakannya yang menunjukkan lukanya mulai sembuh? Senang sekali aku melihat gerakan gerakan ringan nya, sambil aku dengarkan anjuran anjuran dalam memilih tanaman obat yang tepat untuk diramu dengan benar dan aku terus terus mendengarkan dan memperhatikan.

“Hei.. hei… kau dengar tidak kata kataku?” Tanya nya yang membuat aku sedikit kaget karena bergelut dengan pikiran pikiranku.
“Eumm, iya… aku tentu mendengar tiap bisikan bisikanmu, jangan kawatir, dengan ajaranmu meramu obat tadi lukanya pasti bisa kering sepertimu”, jawabku.
Dengan ragu dia bertanya, “benarkah, kau menyimak kata-kataku??” Aku coba menjawab keraguannya dengan kuraih beberapa dahan pohon dari pohon rambat yang kemudian kuanyam membentuk botol kecil lengkap dengan penutupnya.

Kemudian aku berkata “nih, lihat agar kamu yakin, aku membuat ini, semua cara-cara tadi aku masukkan dalam botol ini, atau biar lebih mantab apa perlu tiap katamu aku simpan didalam sini juga? Hemm??” cerocos aku dengan sedikit menggoda.

“Hahaha…. kau itu memang aneh, tapi bagus juga idemu”,  katanya dengan tertawa.
Kuamati dan kuamati gerakanya semakin ringan, tergelitik aku untuk bertanya “sepertinya lukamu sudah mengering?” tanyaku sedikit dengan perasaan aneh dan ragu.
“Oh ya? Begitukah? Semoga saja lekas sembuh total, jawabnya.
“Tanaman apa yang kamu ramu? Beri aku tanaman yang sama, agar gerakan ku seringan dirimu?” Pinta ku dengan sedikit nada sedih.
“Jangan, tanaman ini tidak cocok untuk lukamu, jangan jangan nanti kamu iritasi, hahahaha. Sudah jangan sedih, asal kamu tau caranya meramu obatnya seperti yang aku katakan, lukanya akan segera kering, ayolah semangat, ujarnya. “Semangat seperti niatmu dari awal yang mengajak aku untuk menyembuhkan lukanya”, dukungnya padaku, si rumput liar.
“Iya” sembari menjawab aku membuka penutup botol kecil kreasiku.

Terus dan terus dia mengajari cara yang benar dalam meramu tanaman tanaman obat dan kelihatannya lambat laun luka-luka ku sudah mengering. Aku senang, dengan sikap ringannya yang selalu mengingatkan aku untuk meramu dengan benar. Benar-benar cara yang benar, bisik ku dalam hati. Dan kuamati dia semakin bebas dalam bergerak, dan itu membuat aku senang dan semakin ingin memperhatikan gerakannya yang bebas.

“Wah, sudah mengering”, ujarnya padaku dengan ceria sembari menunjukkan gerakan dia yang bebas tanpa bekas luka lagi sepertinya.
“ Iya, aku senang, senang sekali”, jawabku.

Syukurlah…aku juga senang, jangan sampai ceroboh lagi, rumput liar itu harus kuat sesuai namanya, nasehatnya sambil dengan lincah nya dia bergerak dengan gembira, semakin bergerak dan bergerak, kuperhatikan dan kuperhatikan dia semakin bebas bergerak menikmati gerakannya bak seorang penari, menari menari babas dan tertawa, terus dan terus bergerak, kuamati dan kuamati dengan hatiku seolah ikut merasakan rasa senang itu, hingga tanpa kusadari sosoknya yang terus bergerak menari dan menari itu menjauh, hilang dan hanya terdengar suaranya berseru seperti menggema “Aku, sudah menemukan obat yang manjur, aku akan menanam dan merawatnya dengan baik. Semangat ya, rumput liar!!”

Aku berdiri terpaku, coba mencari dan mencari dengar, sisa sisa seruanya, hingga akirnya tak kudengar lagi. Aku terdiam. Aku sudah sembuh, bisikku dalam hati. Aku baik-baik saja, yakinku dalam hati. Dan seperti katanya harus tau caranya, maka aku tak akan terpeleset terjatuh lagi.

Aku hanya berdiri hingga aku merasa letih. Kucoba mencari tempat bersandar, dan kulihat satu pohon yang sepertinya teduh dan aman. Kusandarkan diriku disitu, kucoba menikmati angin meski angin musim kering yang terasa kering dan panas. Kucoba menikmati dan menikmati semilir angin, ada yang perih sepertinya, berdenyut.

Tak sadar aku tertidur, hingga kudengar suara “hei… kau tak apa apa? Kau tertidur?”.
Kucoba buka mata yang enggan membuka dan kubertanya pada sosok laki laki dihadapnku “kau siapa?” Tanyaku letih.
“Aku akasia… sepertinya kamu letih?” Tanyanya.
Iya, tapi aku baik baik saja, jawabku, “oh ya, aku rumput liar.”
“Boleh aku berteduh disampingmu?” Pintanya
Sedikit ragu aku menjawab “iya, silakan”.

Hemmm, menikmati keringnya angin bersama seorang kawan, yang selalu mencoba berkawan untuk bisa menikmati suasana angin di musim kering. Kulihat dia berusaha merangkai bunga bunga kecil, yang entah untuk apa. Terus kucoba nikmati angin dengan berseling aku memperhatikan gerakanya yang berusaha menyusun sebuah untaian.

Tanpa aku sadari, dia ulurkan padaku untaian bunga bunga serupa kalung. Aku diam, dengan tangan kiriku yang sibuk menggenggam botol dahan. Dengan desah dan fikir, aku coba meraih untaian dengan tangan kanan yang aku ulurkan dan berkata “ternyata kamu membentuk kalung bunga ya?” Kuperhatikan kamu telaten juga membuatnya, ungkapku dengan melihat warna bunga bunga yang coba dia rangkai membentuk sebuah kalung.

“Ini untuk ku?” tanyaku. Dengan senyum dia menjawab “iya, untukmu”.
Kusimak senyumnya, dan kualihkan pandanganku pada sebuah genggaman di tangan kiriku. Kemudian kukaitkan serabut akar pohon untuk membentuk tali lubang kecil. Liontin, pikirku. Kucoba kenakan untaian bunga bunga pada leherku dengan aku gantungkan botol dahan. Kalung bunga berliontin botol dahan, bisikku.

“Apakah itu liontin??” Tanyanya. Dengan sedikit gugup kujawab “iya, liontin botol dahan”.
“Oh… sepertinya berisi sesuatu, apa?” tanyanya bersih
Bisikan dandelion, jawabku sambil tertawa ringan padanya.
“Bisikan dandelion?” Ulangnya dengan sedikit ada nada tanya dan diapun ikut tertawa bersamaku.

Kamipun tersenyum bersama dengan angin yang sepertinya lambat laun mulai sedikit menyejukkan dan semakin berhembus dan berhembus entah kearah mana.
Sembari kupegang liontin yang menggantung tepat di dada, aku berbisik , apa kabarmu? Dan bisikku terbawa angin mungkin.

Kuarahkan pandanganku pada kawan disampingku dan sedikit menggoda ku berkata “Akasia, senyummu manis”. Dengan ekspresi sederhana diapun tertawa dan diikuti senyumku. Aku baik-baik saja dengan bisikan-bisikan Dandelion’

Tetaplah, semangat!
Mungkinkah ini sahutannya

sumber : suara remaja
Thanks For Read, Visit me again

Tidak ada komentar:

Posting Komentar